Selasa, Agustus 23, 2011

PBB Tanah Tambang

A. A. Objek Pajak Bumi dan Bangunan

· Menurut pasal 1 angka (1) UU 12 /1985 bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya

· Menurut pasal 2 ayat (1) UU 12/1985 yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan

· Menurut pasal 1 angka (8) Kep DirJen Sektor Pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya

B. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut pasal 4 ayat (1) UU 12 /1985 yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas suatu bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.

C. Mekanisme Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan

· Menurut pasal 36 ayat (1) UU 4/2009 Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas 2 tahap:

a) IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan;

b) IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan

· Menurut pasal 1 angka 15 Kep DirJen Nilai Jual Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana dimaksud pada Lampiran IIA dan IIB Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 523/KMK.04/1998 tanggal 18 Desember 1998

· Menurut pasal 8 Kep DirJen besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak Sektor Pertambangan Non Migas selain Pertambangan Energi Panas Bumi dan Galian C ditentukan sebagai berikut:

a) Areal Produktif adalah sebesar 9,5 x hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.

b) Areal belum produktif, tidak produktif dan emplasemen serta areal lainnya didalam atau diluar wilayah kuasa pertambangan, adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.

c) Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada pasal 1 angka 15

Penggunaan Rupiah Terkait Dengan UU No. 7 Tahun 2011

I. Dasar Hukum

A. Mata Uang Republik Indonesia

· Menurut Pasal 2 ayat (1) UU 23/1999 satuan mata uang Negara Republik Indonesia adalah Rupiah dengan singkatan Rp.

· Menurut Pasal 1 angka 1 UU 07/2011, mata uang adalah uang yang dikeluarkan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Rupiah.

B. Penggunaan Rupiah

1. Sebagai Alat Pembayaran yang Sah

Menurut Pasal 2 ayat (2) UU 23/1999, uang Rupiah adalah alat pembayaran yang sah di wilayah negara Republik Indonesia.

2. Untuk Tujuan Pembayaran/Kewajiban

Menurut Pasal 2 ayat (3) UU 23/1999, setiap perbuatan yang menggunakan uang atau mempunyai tujuan pembayaran atau kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang jika dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia wajib menggunakan uang Rupiah, kecuali apabila ditetapkan lain dengan Peraturan Bank Indonesia. (Pengecualian oleh Peraturan Bank Indonesia adalah untuk transaksi valas)

3. Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia

Menurut Pasal 21 ayat (1) UU 07/2011, Rupiah wajib digunakan dalam:

- Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

- Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

- Transaksi keuangan lainnya,

yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4. Larangan terhadap Penolakan Rupiah

Menurut Pasal 2 ayat (4) UU 23/1999, setiap orang atau badan yang berada di Wilayah Negara Republik Indonesia dilarang menolak untuk menerima uang Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau memenuhi kewajiban yang harus dipenuhi dengan uang sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) UU 23/1999.

Selanjutnya, menurut Pasal 23 ayat (1) UU 07/2011, setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

Menurut Pasal 23 ayat (2) UU 07/2011, ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang dapat dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

5. Pencantuman Nilai Rupiah

Menurut Pasal 49 ayat (1)UU 40/2007, nilai saham harus dicantumkan dalam mata uang Rupiah.

C. Pengecualian Kewajiban Penggunaan Rupiah

1. Pengecualian terhadap Jenis Transaksi Tertentu

Menurut Pasal 21 ayat (2) UU 07/2011, kewajiban untuk menggunakan Rupiah tidak berlaku bagi:

a. Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara;

b. Penerimaan atau pemberian hibah dari atau keluar negeri;

c. Transaksi perdagangan internasional;

d. Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau

e. Transaksi pembiayaan internasional.

2. Transaksi Valuta Asing dalam Transaksi Derivatif

Menurut Pasal 2 ayat (5) UU 23/1999, pengecualian sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (3) UU 23/1999 diberikan untuk keperluan pembayaran di tempat atau di daerah tertentu, untuk maksud pembayaran, atau untuk memenuhi kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis, yang akan ditetapkan dengan Peraturan Bank Indonesia. (Pengecualian yang diatur oleh Peraturan Bank Indonesia tersebut adalah untuk transaksi valas)

3. Penanaman Modal Asing

Menurut Pasal 8 ayat (3) UU 25/2007 menyebutkan bahwa penanam modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap:

a. modal;

b. keuntungan, bunga bank, deviden, dan pendapatan lain;

c. dana yang diperlukan untuk:

1) pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi; atau

2) penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal;

d. tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal;

e. dana untuk pembayaran kembali pinjaman;

f. royalti atau biaya yang harus dibayar;

g. pendapatan dari perseorangan warga negara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal;

h. hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal;

i. kompensasi atas kerugian;

j. kompensasi atas pengambilalihan;

k. pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknik dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan

l. hasil penjualan aset sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), yang menyebutkan bahwa penanaman modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Pajak/Pembukuan

· Menurut Pasal 2 Permenkeu 196/PMK.03/2007, wajib pajak dapat menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan satuan mata uang selain Rupiah yaitu bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat.

· Menurut Pasal 3 huruf (a) Permenkeu 196/PMK.03/2007, wajib pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi: wajib pajak dalam rangka penanaman modal asing yang beroperasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan penanaman modal asing.

· Menurut Pasal 4 ayat (1) Permenkeu 196/PMK.03/2007, penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.

· Menurut Pasal 4 ayat (2) Permenkeu 196/PMK.03/2007, izin tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperoleh Wajib Pajak dengan mengajukan surat permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah, paling lambat 3 (tiga) bulan:

a. sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat tersebut dimulai; atau

b. sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru untuk Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak pertama.

D. Sanksi

1. Menurut Pasal 33 ayat (1) UU 07/2011, setiap orang yang tidak menggunakan Rupiah dalam:

a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. transaksi keuangan lainnya

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta).

2. Menurut Pasal 33 ayat (2) UU 07/2011, setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta).

3. Menurut Pasal 39 ayat (1) UU 07/2011, pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan ketentuan ancaman pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 di atas ditambah 1/3 (satu per tiga).

4. Menurut Pasal 39 ayat (2) UU 07/2011, dalam hal terpidana korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu membayar pidana denda, dalam putusan pengadilan dicantumkan perintah penyitaan harta benda korporasi dan/atau harta benda pengurus korporasi.

5. Menurut Pasal 39 ayat (3) UU 07/2011, selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, serta Pasal 36, atau Pasal 37, setiap orang dapat dikenai pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/atau perampasan terhadap barang tertentu milik terpidana.

I. Pendapat Hukum

1. Konteks Transaksi Perdagangan Internasional

Dengan mencermati Pasal 21 ayat (1) UU 07/2011, kewajiban penggunaan mata uang Rupiah pada dasarnya berlaku untuk:

a. Setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran;

b. Penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau

c. Transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Penjelasan: transaksi keuangan lainnya antara lain meliputi kegiatan penyetoran uang dalam berbagai jumlah dan jenis pecahan dari nasabah kepada bank).

Adapun kewajiban tersebut terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 21 paragraph (2) dimana pengecualian tersebut berlaku terhadap:

a. Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja Negara;

b. Penerimaan atau pemberian hibah dari atau keluar negeri;

c. Transaksi perdagangan internasional;

d. Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau

e. Transaksi pembiayaan internasional.

Sehubungan dengan kegiatan perseroan, di mana terdapat berbagai macam transaksi baik secara harian (operasional) maupun kontraktual, seharusnya diperhatikan ketentuan mengenai (a) kewajiban penggunaan mata uang Rupiah untuk setiap transaksi yang bertujuan pembayaran dan (b) pengecualiannya untuk transaksi perdagangan internasional. Secara teoritis, kriteria untuk transaksi perdagangan internasional merupakan transaksi yang melibatkan adanya perpindahan barang (berwujud atau tidak berwujud) dan/atau jasa dan disertai pembayaran yang melewati batas negara.

Untuk itu, transaksi yang melibatkan adanya perpindahan barang dan/atau jasa dan disertai pembayaran secara lintas negara, maka transaksi dapat dilaksanakan dalam valuta asing. Sepanjang transaksi dilakukan untuk penyerahan barang dan/atau jasa (hanya) dalam wilayah Indonesia, maka transaksi tersebut harus dilaksanakan dalam mata uang Rupiah. Sebagai contoh, suatu perusahaan asing yang berkedudukan di luar negeri menunjuk agennya di Indonesia, transaksi di antara pihak tersebut dapat dilakukan dalam valuta asing. Hal ini dikarenakan adanya perpindahan barang dan/atau jasa di antara pihak bersangkutan serta pembayaran yang dilakukan adalah secara lintas negara. Selanjutnya, apabila agen tersebut, merupakan suatu badan hukum Indonesia, mengadakan suatu perjanjian dan/atau kontrak dengan PT X, transaksi di antara agen dan PT X tersebut harus dilaksanakan dalam mata uang Rupiah, karena transaksi barang dan/atau jasa di antara para pihak yang bersangkutan tidak lintas negara atau terjadi di dalam wilayah negara Republik Indonesia, sesuai dengan Pasal 21 ayat (1) UU 07/2011.

2. Pembayaran untuk Transaksi Dalam Negeri Perseroan

Selain itu, sebagai implikasi dari pengundangan UU 07/2011 mengenai kewajiban penggunaan Rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, maka kegiatan operasional perseroan di mana terjadi dalam wilayah negara Republik Indoensia, seperti sewa-menyewa apartemen, pembayaran gaji, pembelanjaan harian, dan sebagainya wajib dilaksanakan dalam Rupiah. Tarif dapat ditentukan dalam valuta asing, namun pelaksanaan pembayarannya harus dilakukan dengan Rupiah. Hal ini sebagaimana dimaksudkan oleh para pembuat undang-undang terkait.

3. Kelemahan Undang-undang Terkait

Terdapat anggapan mengenai lemahnya UU 07/2011, di mana dalam Pasal 23 menyebutkan bahwa:

(1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian Rupiah.

(2) Ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Mata Uang dapat dikecualikan untuk pembayaran atau untuk penyelesaian kewajiban dalam valuta asing yang telah diperjanjikan secara tertulis.

Terdapat anggapan bahwasanya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat mengesampingkan kewajiban pembayaran dalam Rupiah. Namun demikian, apabila diteliti secara cermat pada ayat (1), disebutkan ketentuan tentang “keaslian Rupiah”. Maka ketentuan ini hanya akan berlaku pada transaksi retail, di mana harus dibuktikan dengan “pembayaran secara tunai”. Selain itu, perjanjian sebagaimana tersebut di atas dimaksudkan untuk perjanijan yang telah ada sebelum diterbitkannya UU 07/2011.

4. Penetapan Peraturan Pelaksana

Tidak dapat dipungkiri bahwa UU 07/2011 masih menimbulkan multi interpretasi pada ketentuan-ketentuan yang diatur di dalamnya, maka merujuk pada Ketentuan Penutupnya (Pasal 47) peraturan perundang-undangan sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan (28 Juni 2011). Maka itu, diharapkan agar cakupan pengecualian dalam penggunaan mata uang Rupiah dapat dibatasi secara tegas sehingga maksud dan tujuan UU 07/2011 untuk memperkuat posisi mata uang Rupiah dapat dicapai.

II. Saran

Agar setiap transaksi pembelanjaan/pembayaran perseroan yang dilakukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, di luar konteks transaksi perdagangan internasional, harus dilaksanakan dalam Rupiah.

Jumat, April 15, 2011

Izin Lokasi

Dalam era global yang terjadi saat ini dan besarnya modal asing yang masuk ke Indonesia, nampaknya perlu diperjelas lagi mengenai salah satu syarat untuk melakukan penanaman modal, terutama terkait dengan pembangunan infrastruktur di Indonesia, yaitu Izin Lokasi.

Hingga saat ini, pengertian Izin Lokasi bagi para investor adalah merupakan salah satu 'hak atas tanah', yang dalam hal ini mereka dapat melakukan apa saja (membangun, menanam, menambang) tanpa perlu mengurus izin-izin lainnya. Atas dasar ini, maka perlu diperjelas lagi mengenai pengertian Izin Lokasi tersebut.

Izin lokasi adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk memperoleh tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal yang berlaku pula sebagai izin pemindahan hak, dan untuk menggunakan tanah tersebut guna keperluan usaha penanaman modalnya. Izin lokasi diberikan untuk jangka waktu:

a. Luas sampai dengan 25 Ha diberikan untuk jangka waktu 1 tahun

b. Luas lebih dari 25 Ha sampai dengan 50 Ha diberikan jangka waktu 2 tahun

c. Luas lebih dari 50 Ha diberikan jangka waktu sampai dengan 3 tahun.

Setiap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penanaman modal wajib mempunyai izin lokasi untuk memperoleh tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal yang bersangkutan dimana pemberian Izin Lokasi merupakan kewenangan dari Bupati, kecuali:

a. Tanah yang akan diperoleh merupakan pemasukan (inbreng) dari para pemegang saham,

b. Tanah yang akan diperoleh merupakan tanah yang sudah dikuasai oleh perusahaan lain dalam rangka melanjutkan pelaksanaan sebagian atau seluruh rencana penanaman modal perusahaan lain tersebut dan untuk itu telah diperoleh persetujuan dari instansi yang berwenang,

c. Tanah yang akan diperoleh diperlukan dalam rangka melaksanakan usaha industri dalam kawasan industry,

d. Tanah yang akan diperoleh berasal dari otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan sesuai dengan rencana tata ruang kawasan pengembangan tersebut,

e. Tanah yang akan diperoleh diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan untuk perluasan itu telah diperoleh izin perluasan usaha sesuai ketentuan yang berlaku, sedangkan letak tanah tersebut berbatasan dengan lokasi usaha yang bersangkutan,

f. Tanah yang diperlukan untuk melaksanakan rencana penanaman modal tidak lebih dari 25 Ha (dua puluh lima hektar) untuk usaha pertanian atau tidak lebih dari 10.000 M2 (sepuluh ribu meter persegi) untuk usaha bukan pertanian, atau

g. Tanah yang akan dipergunakan untuk melaksanakan rencana penanaman modal adalah tanah yang sudah dipunyai oleh perusahaan yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa tanah-tanah tersebut terletak di lokasi yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan rencana penanaman modal yang bersangkutan.

Yang kemudian ditindaklanjuti oleh Perusahaan yang bersangkutan dengan memberitahukan rencana perolehan tanah dan/atau penggunaan tanah yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan.

Kewajiban dari pemegang izin lokasi adalah:

a. Menghormati kepentingan pihak-pihak lain atas tanah yang belum dibebaskan

b. Melaporkan secara berkala setiap 3 (tiga) bulan kepada Kepala Kantor Pertanahan mengenai perolehan tanah yang sudah dilaksanakan berdasarkan Izin Lokasi dan pelaksanaan penggunaan tanah tersebut.


Berdasarkan penjelasan singkat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Izin Lokasi bukan merupakan hak atas tanah. Izin lokasi merupakan izin yang diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum untuk dapat memperoleh tanah, pada lokasi yang telah ditentukan dalam rangka penanaman modal yang akan dilakukan oleh badan hukum tersebut.